Senin, 13 Oktober 2008

Azab Allah SWT Menggelayut di Atas Amerika

Krisis ekonomi yang menimpa Amerika Serikat dewasa ini tampaknya semakin memburuk. Kekhawatiran bahwa ia akan berkembang menjadi krisis global semakin nyata.

Krisis ekonomi yang menimpa Amerika Serikat dewasa ini tampaknya semakin memburuk. Kekhawatiran bahwa ia akan berkembang menjadi krisis global semakin nyata.

Seorang ulama warganegara Amerika keturunan Yaman segera menulis peringatan kepada kaum muslimin di Amerika Serikat dalam situs-nya. Imam Anwar Al-Awlaki bahkan memberi judul menghebohkan atas artikelnya: ”Apakah Franklin sedang mewujud menjadi Washington?”

Di bawah ini kami akan muat text asli posting beliau lalu dilanjutkan dengan terjemahan bebas di bawahnya.

Intinya, Imam Anwar memperingatkan kita semua akan bahaya kemungkinan pemerintah AS di bawah pimpinan George Bush menerapkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang dollar). Imam Anwar mengkhawatirkan bilamana lembar uang seratus dollar AS bakal dipotong menjadi setara dengan lembar uang satu dollar AS...!

Maka, Imam Anwar menganjurkan kaum muslimin di AS untuk melakukan langkah antisipatif dengan cara membeli emas dan perak guna mengamankan dollar mereka sebelum kebijakan sanering berlaku.

Bila ini menjadi kenyataan sudah barang tentu dampaknya akan meluas termasuk sangat mungkin mempengaruhi kondisi rupiah Indonesia yang memang selama ini sangat bergantung kepada kuat-lemahnya mata uang dollar AS.

Akankah ini menjadi awal kesadaran global pentingnya meninggalkan uang kertas dan kembali kepada dinar dan dirham? Semoga...

_______________________________________________________________________

Sekilas ta’aruf (perkenalan) mengenai Imam Anwar Al-Awlaki:

Imam Anwar al-Awlaki adalah seorang ulama kelahiran New Mexico. Orangtuanya berasal dari Yaman dimana ia tinggal selama sebelas tahun dan memperoleh bagian awal pendidikan Islamnya.

Imam Anwar al-Awlaki sempat menjadi Imam masjid di Colorado, California. Kemudian ia tinggal di kawasan Washington DC dimana ia memimpin Dar Al-Hijrah Islamic Center sambil menjadi Pemuka Agama Islam di George Washington University. Sebelumnya ia sering bolak-balik Amerika-Yaman saat ia belajar Syari’ah kepada beberapa ulama terkemuka dimana akhirnya ia dilarang masuk kembali ke Amerika Serikat kendati ia seorang berwarga-negara AS.

Imam Anwar al-Awlaki memiliki gelar S1 sebagai Insinyur Sipil dari Colorado State University, S2 di bidang Pendidikan Kepemimpinan dari San Diego State University serta sedang menekuni S3-nya di bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia di George Washington University. Ia telah menghasilkan banyak seri audio popular termasuk “Kehidupan Para Nabi”, “Kehidupan Akhirat”, “Kehidupan Muhammad”, “Kehidupan Umar bin Khattab”, “kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq”, “Kisah Ibnul Awka”, “Konsisten di jalan Jihad” dan banyak lagi. Bagi Anda yang ingin tahu lebih jauh mengenai Imam Anwar silahkan kunjungi www.anwar-alawlaki.com


About the Shaykh

Imam Anwar al-Awlaki is a Muslim scholar who was born in New Mexico. His parents are from Yemen, where he lived for eleven years and received the early part of his Islamic education. Imam Anwar al-Awlaki served as an Imam in Colorado, California, and later in the Washington, D.C. area where he headed the Dar Al-Hijrah Islamic Center and was also the Muslim Chaplain at George Washington University.

He used to go back and forth from America to Yemen, where he was studying Shari’ah with prominent scholars, and he was later banned from re-entering the United States despite being a U.S. citizen. He holds a B.S. in Civil Engineering from Colorado State University, a M.A. in Education Leadership from San Diego State University and was working on a Doctorate degree in Human Resource Development at George Washington University. He authored many popular audio series including the “Lives of the Prophets”, “The Hereafter”, “The Life of Muhammad”, “The life and times of ‘Umar ibn al-Khattab”, “The life and times of Abu Bakr al-Siddiq”, “The Story of Ibn al-Akwa”, “Constants on the Path of Jihad”, and more.

Is the Franklin morphing into the Washington?!

Posted (anwar) in Imam Anwar's Blog on October-6-2008

For those readers outside of the US who have no clue what the title of this post is talking about: Benjamin Franklin is the US statesman who is featured on the face of the $100 bill and George Washington is on the $1 bill.

Even though I am not an economist there is an issue on this topic that I would like to share with my brothers and sisters. Gold has been recognized as currency for thousands of years. FIAT money (Paper money) is a new invention and is only worth the political and economical strength of its issuers and the trust the world has in this political and economical strength. That is obviously the case with nations that issue paper money without gold backing such as the US.

Because the US economy is the powerhouse of the world and is the greatest economy on the face of the planet its currency enjoys the trust of the world. It has become the most recognized and it is the world’s foremost reserve currency. Today rather than commodities being valued in gold or silver they are valued in dollars. Oil for example is priced in dollars. In fact gold itself is priced in dollars.

The Messenger of Allah says: Allah has destined that whatever goes up must come down. Therefore if the US falls politically or economically the dollar falls with it.

Today America is the home of an interesting assortment of sins that are handpicked from all over the nations that existed before us: the obstinacy of the people of Nuh; the arrogance of the people of Aad; the rejection of Allah’s signs by the people of Thamud; the sodomy of the people of Lut; the financial deviance of the people of Shuayb as America is the biggest dealer and promoter of the interest based economy; the oppression of Abu Jahl et al; the greed, deception, love of the temporal life, and the bogusness of the children of Israel; along with the arrogance of the Pharaoh who had the misled notion that just because he is the leader of the most powerful nation on earth and is at the top the greatest army of his time he can somehow defeat the servants of Allah.

Brothers and Sisters this leads to the belief that the punishment of Allah is hovering over America. When? And how? Allah knows best.

So if you are one of those unfortunate folks who turned out to be living in the wrong place at the wrong time then it is advisable for you to leave. That is obviously if you take heed. Many don’t and are still living the utopia of the American dream. I am not talking about Mo and Mike who are still shaking to the tunes of MTV with their coke and big mac and are only Muslim by name, but I am talking about the practicing Muslims who sadly enough still think that the America of George W is the Abyssinia of the Negus.

Hijra for the sake of Allah will continue until the day of Judgment. If you leave with the intention of forsaking the people of sin and protecting your family from evil you would be rewarded abundantly. But not everyone has the capacity to make hijra just like there were some Muslims who could not make hijra from Makkah at the time of Rasulullah. So for those who cannot they should pray to Allah to make a way out for them and protect them from the people of transgression.

If you are a person whom Allah has bestowed wealth upon then you should avoid owning property in the US and you should diversify out of the dollar into gold and silver. Gold and silver have retained there value over history and there is no reason to think that they would not do the same in the future. In addition to this being the prudent thing to do from a financial point of view, it is also the recommended thing to do Islamicly. Muslims should not be supporting the economy of a nation that is fighting them.

Finally, for those who are contemplating purchasing a home in the US based on mortgage which is a clear form of Riba they should fear Allah. In addition to it being one of the most evil sins in Islam it is putting money in the wrong place. Allah says that He will destroy Riba. It is a promise from Allah. There is no blessing in anything based on it. What is happening in the US nowadays is a testimony to that.


Apakah Franklin sedang mewujud menjadi Washington?!

(Di-pos-kan ke dalam blog Imam Anwar pada tanggal 6 Oktober 2008)

Bagi pembaca yang tinggal di luar Amerika Serikat yang tidak mengerti apa yang dimaksud oleh judul tulisan ini: Benjamin Franklin merupakan negarawan yang wajahnya tercantum di lembaran uang $100 AS dan George Washington di lembaran uang $1 AS.

Walaupun saya bukan seorang ahli ekonomi ada isyu berkenaan dengan topik ini yang ingin saya bagi dengan saudara-saudaraku, para ikhwan dan akhwat. Emas telah diakui sebagai mata uang selama beribu tahun. Uang FIAT (uang kertas) merupakan suatu penemuan baru dan hanya bernilai sesuai kekuatan politis dan ekonomis para penerbitnya beserta kepercayaan (trust) dunia terhadap kekuatan politis dan ekonomis tersebut. Ini jelas berlaku atas bangsa-bangsa yang menerbitkan uang kertas tanpa dukungan emas seperti Amerika Serikat.

Mengingat bahwa ekonomi AS merupakan pembangkit tenaga listrik dunia dan ekonomi terkuat di muka bumi, maka mata uangnya menikmati kepercayaan (trust) dunia. Ia telah menjadi mata uang dunia yang paling diakui dan terkemuka. Dewasa ini berbagai komoditi ditakar bukan oleh emas dan perak melainkan oleh dollar. Minyak, misalnya, dihargai dengan dollar. Bahkan emas sendiri dihargai dengan dollar.

Rasulullah saw bersabda: “Allah telah mentaqdirkan bahwa apa yang naik pasti harus turun.” Dengan demikian bila politik dan ekonomi AS terpuruk, maka dollar akan jatuh bersamanya. Menariknya, hari ini AS menjadi rumah bagi aneka-ragam dosa yang dikumpulkan dari berbagai umat yang pernah hadir sebelum kita: sifat keras kepala umat Nabi Nuh; kesombongan kaum ’Aad; pengingkaran tanda-tanda Allah oleh kaum Tsamud; sodomi kaum Lut; penyimpangan keuangan umat Nabi Syu’aib (sebagaimana kita ketahui) Amerika menjadi pelaksana dan promotor utama ekonomi berbasis bunga; penindasan Abu Jahal dan kawan-kawannya; ketamakan, penipuan, cinta kehidupan fana, kemunafikan Bani Israil; bersama dengan arogansi Fir’aun yang tersesat hanya karena merasa dirinya pemimpin bangsa terkuat di muka bumi dan memiliki armada perang paling digdaya pada masanya, maka ia merasa yakin mampu mengungguli segenap hamba-hamba Allah.

Ikhwan dan Akhwat sekalian, ini mengantarkan kita pada suatu keyakinan bahwa azab Allah sedang menggelayut di atas Amerika. Kapan? Bagaimana? Wallahu a’lam. Allah Maha Tahu.

Maka, jika Anda termasuk salah seorang yang tidak beruntung hidup di tempat dan waktu yang salah, maka sebaiknya Anda pergi. Tentunya bila Anda masih peduli. Banyak yang sebaliknya dan masih hidup dalam utopia mimpi Amerika (the American dream). Saya bukan sedang membicarakan tentang si Mo dan si Mike yang masih bergoyang mengikuti ritme MTV dengan minuman Coca Cola-nya dan MacD-nya sambil menjadi Muslim sekedar nama. Tapi saya sedang membicarakan Muslim yang mengamalkan ajarannnya yang sayangnya masih menganggap bahwa Amerika-nya George W merupakan Habasyah-nya Raja Najasyi. Hijrah akan berlangsung hingga Hari Akhir. Jika Anda pergi dengan niat menjauhi para pelaku dosa dan melindungi keluarga Anda dari kejahatan, maka Anda akan diberi ganjaran besar. Tetapi tidak semua orang sanggup melakukan hijrah seperti sebagian Muslim yang tidak hijrah dari Mekkah di masa Rasulullah saw. Maka bagi mereka yang tidak sanggup, hendaknya mereka berdoa kepada Allah agar memperoleh jalan keluar dan melindungi mereka dari penganiayaan.

Jika Anda termasuk orang yang Allah lapangkan rezqi-nya, maka Anda sebaiknya tidak memiliki property di AS dan Anda sebaiknya menukar dollar Anda menjadi emas dan perak. Nilai emas dan perak telah bertahan sepanjang sejarah dan tidak ada alasan untuk mengira bahwa ia tidak akan bertahan di masa yang akan datang. Disamping merupakan tindakan bijaksana dari sudut pandang keuangan, ini juga dianjurkan dari sudut pandang Islam. Kaum Muslimin tidak sepantasnya mendukung ekonomi sebuah bangsa yang memerangi mereka.

Terakhir, bagi mereka yang sedang berfikir-fikir untuk membeli rumah berbasis penggadaian (mortgage) di AS yang merupakan bentuk nyata praktek Riba, maka hendaknya takutlah ia kepada Allah. Disamping ia merupakan salah satu dosa besar dalam Islam, maka pembelian tersebut sama dengan meletakkan uang di tempat yang salah. Ini janji Allah. Tidak ada keberkahan dalam apapun berdasarkan riba. Apa yang berlangsung di AS dewasa ini merupakan bukti akan hal itu.

(Diterjemahkan secara bebas oleh Ust. Ihsan Arlansyah Tandjung)

sumber :www.eramuslim.com
Rabu, 8 Oktober 2008

Kamis, 09 Oktober 2008

AKAR KRISIS KEUANGAN GLOBAL DAN MOMENTUM EKONOMI SYARIAH SEBAGAI SOLUSI

Kamis, 09 Oktober 2008

(Bagian I)

Oleh : Agustianto

Krisis keuangan Amerika Serikat saat ini, mulai merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Pada tanggal 8 Oktober 2008, kemaren, IHSG tertekan tajam turun 10 %, demikian pula Nikken di Jepang jatuh lebih dari 9 %. Hampir semua pasar keuangan dunia terimbas krisis financial US tersebut. Karena itu para pengamat menyebut krisis ini sebagai krisis finansial global. Krisis keuangan global yang terjadi belakangan ini, merupakan fenomena yang mengejutkan dunia, tidak saja bagi pemikir ekonomi mikro dan makro, tetapi juga bagi para elite politik dan para pengusaha.


Agustianto
Dalam sejarah ekonomi, ternyata krisis sering terjadi di mana-mana melanda hampir semua negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Krisis demi krisis ekonomi terus berulang tiada henti, sejak tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan sampai saat ini krisis semakin mengkhawatirkan dengan munculnya krisis finansial di Amerika Serikat . Krisis itu terjadi tidak saja di Amerika latin, Asia, Eropa, tetapi juga melanda Amerika Serikat.

Roy Davies dan Glyn Davies, 1996 dalam buku The History of Money From Ancient time oi Present Day, mengurakan sejarah kronologi secara komprehensif. Menurut mereka, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih 20 kali kriss besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa secara rata-rata, setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.

Pada tahun 1907 krisis perbankan Internasional dimulai di New York, setelah beberapa decade sebelumnya yakni mulai tahun 1860-1921 terjadi peningkatan hebat jumlah bank di Amerika s/d 19 kali lipat. Selanjutnya, tahun 1920 terjadi depresi ekonomi di Jepang. Kemudian pada tahun 1922 – 1923 German mengalami krisis dengan hyper inflasi yang tinggi. Karena takut mata uang menurun nilainya, gaji dibayar sampai dua kali dalam sehari. Selanjutnya, pada tahun 1927 krisis keuangan melanda Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan

Pada tahun 1929 – 30 The Great Crash (di pasar modal NY) & Great Depression (Kegagalan Perbankan); di US, hingga net national product-nya terbangkas lebih dari setengahnya. Selanjutnya, pada tahun 1931 Austria mengalami krisis perbankan, akibatnya kejatuhan perbankan di German, yang kemudian mengakibatkan berfluktuasinya mata uang internasional. Hal ini membuat UK meninggalkan standard emas. Kemudian1944 – 66 Prancis mengalami hyper inflasi akibat dari kebijakan yang mulai meliberalkan perekonomiannya. Berikutnya, pada tahun 1944 – 46 Hungaria mengalami hyper inflasi dan krisis moneter. Ini merupakan krisis terburuk eropa. Note issues Hungaria meningkat dari 12000 million (11 digits) hingga 27 digits.

Pada tahun 1945 – 48 Jerman mengalami hyper inflasi akibat perang dunia kedua.. Selanjutnya tahun 1945 – 55 Krisis Perbankan di Nigeria Akibat pertumbuhan bank yang tidak teregulasi dengan baik pada tahun 1945. Pada saat yang sama, Perancis mengalami hyperinflasi sejak tahun 1944 sampai 1966. Pada tahun (1950-1972) ekonomi dunia terasa lebih stabil sementara, karena pada periode ini tidak terjadi krisis untuk masa tertentu. Hal ini disebabkan karena Bretton Woods Agreements, yang mengeluarkan regulasi di sektor moneter relatif lebih ketat (Fixed Exchange Rate Regime). Disamping itu IMF memainkan perannya dalam mengatasi anomali-anomali keuangan di dunia. Jadi regulasi khususnya di perbankan dan umumnya di sektor keuangan, serta penerapan rezim nilai tukar yang stabil membuat sektor keuangan dunia (untuk sementara) "tenang".

Namun ketika tahun 1971 Kesepakatan Breton Woods runtuh (collapsed). Pada hakikatnya perjanjian ini runtuh akibat sistem dengan mekanisme bunganya tak dapat dibendung untuk tetap mempertahankan rezim nilai tukar yang fixed exchange rate. Selanjutnya pada tahun 1971-73 terjadi kesepakatan Smithsonian (di mana saat itu nilai 1 Ons emas = 38 USD). Pada fase ini dicoba untuk menenangkan kembali sektor keuangan dengan perjanjian baru. Namun hanya bertahan 2-3 tahun saja.

Pada tahun 1973 Amerika meninggalkan standar emas. Akibat hukum "uang buruk (foreign exchange) menggantikan uang bagus (dollar yang di-back-up dengan emas)-(Gresham Law)". Pada tahun 1973 dan sesudahnya mengglobalnya aktifitas spekulasi sebagai dinamika baru di pasar moneter konvensional akibat penerapan floating exchange rate sistem. Periode Spekulasi; di pasar modal, uang, obligasi dan derivative. Maka tak aneh jika pada tahun 1973 – 1874 krisis perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan kompetisi pada supply of credit.

Pada tahun 1974 Krisis pada Eurodollar Market; akibat west German Bankhaus ID Herstatt gagal mengantisipasi international crisis. Selanjutnya tahun 1978-80 Deep recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri.

Selanjutnya sejarah mencatat bahwa pada tahun 1980 krisis dunia ketiga; banyaknya hutang dari negara dunia ketiga disebabkan oleh oil booming pada th 1974, tapi ketika negara maju meningkatkan interest rate untuk menekan inflasi, hutang negara ketiga meningkat melebihi kemampuan bayarnya. Pada tahun 1980 itulah terjadi krisis hutang di Polandia; akibat terpengaruh dampak negatif dari krisis hutang dunia ketiga. Banyak bank di eropa barat yang menarik dananya dari bank di eropa timur.

Pada saat yang hampir bersamaan yakni di tahun 1982 terjadi krisis hutang di Mexico; disebabkan outflow kapital yang massive ke US, kemudian di-treatments dengan hutang dari US, IMF, BIS. Krisis ini juga menarik Argentina, Brazil dan Venezuela untuk masuk dalam lingkaran krisis.

Perkembangan berikutnya, pada tahun 1987 The Great Crash (Stock Exchange), 16 Oct 1987 di pasar modal US & UK. Mengakibatkan otoritas moneter dunia meningkatkan money supply. Selanjutnya pada tahun 1994 terjadi krisis keuangan di Mexico; kembali akibat kebijakan finansial yang tidak tepat.

Pada tahun 1997-2002 krisis keuangan melanda Asia Tenggara; krisis yang dimulai di Thailand, Malaysia kemudian Indonesia, akibat kebijakan hutang yang tidak transparan. Krisis Keuangan di Korea; memiliki sebab yang sama dengan Asteng.

Kemudian, pada tahun 1998 terjadi krisis keuangan di Rusia; dengan jatuhnya nilai Rubel Rusia (akibat spekulasi) Selanjutnya krisis keuangan melanda Brazil di tahun 1998. pad saat yang hamper bersamaan krisis keuangan melanda Argentina di tahun 1999. Terakhir, pada tahun 2007-hingga saat ini, krisis keuangan melanda Amerika Serikat.

Dari data dan fakta historis tersebut terlihat bahwa dunia tidak pernah sepi dari krisis yang sangat membayakan kehidupan ekonomi umat manusia di muka bumi ini.

Apakah akar persoalan krisis dan resesi yang menimpa berbagai belahan dunia tersebut ?. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, cukup banyak para pengamat dan ekonom yang berkomentar dan memberikan analisis dari berbagai sudut pandang.

Dalam menganalisa penyebab utama timbulnya krisis moneter tersebut, banyak para pakar ekonomi berkonklusi bahwa kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental economic fragility) adalah merupakan penyebab utama munculnya krisis ekonomi. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: "Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi".

Ini dengan jelas menunjukkan bahwa defisit neraca pembayaran (deficit balance of payment), beban hutang luar negeri (foreign debt-burden) yang membengkak--terutama sekali hutang jangka pendek, investasi yang tidak efisien (inefficient investment), dan banyak indikator ekonomi lainnya telah berperan aktif dalam mengundang munculnya krisis ekonomi.

Sementara itu, menurut pakar ekonomi Islam, penyebab utama krisis adalah kepincangan sektor moneter (keuangan) dan sektor riel yang dalam Islam dikategorikan dengan riba. Sektor keuangan berkembang cepat melepaskan dan meninggalkan jauh sektor riel. Bahkan ekonomi kapitalis, tidak mengaitkan sama sekali antara sektor keuangan dengan sektor riel.

Tercerabutnya sektor moneter dari sektor riel terlihat dengan nyata dalam bisnis transaksi maya (virtual transaction) melalui transaksi derivatif yang penuh ribawi. Tegasnya, Transaksi maya sangat dominan ketimbang transaksi riil. Transaksi maya mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di sektor riel berupa perdagngan barang dan jasa hanya sekitar lima persen saja.

Menurut analisis lain, perbandingan tersebut semakin tajam, tidak lagi 95 % : 5 %, melainkan 99 % : 1 %. Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options.

Islam sangat mencela transaksi dirivatif ribawi dan menghalalkan transaksi riel. Hal ini dengan tegas difirmankan Allah dalam Surah Al-Baqarah : 275 : Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Sebagaimana disebut di atas, perkembangan dan pertumbuhan finansial di dunia saat ini, sangat tak seimbang dengan pertumbuhan sektor riel. Realitas ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang/jasa tersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi berbagai negara.

Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi (terutama di dunia pasar modal, pasar valas dan proverti), sehingga potret ekonomi dunia seperti balon saja (bubble economy).

Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.

Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS.

Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Didin S Damanhuri, Problem Utang dalam Hegemoni Ekonomi),

Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar bukanlah variabel yang dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar ditentukan di dalam perekonomian sebagai variabel endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian.

Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riel, inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negara–negara berkembang (terparah Indonesia). Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang. Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel.

Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Lihat saja nasib rupiah semakin hari semakin merosot dan nilainya tidak menentu.

Di pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti Indonesia, jelas menjadi bulan-bulanan para spekulan. Demikian pula ulah George Soros di Asia Tenggara.

Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian.

Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok.

Robin Hahnel dalam artikelnya Capitalist Globalism In Crisis: Understanding the Global Economic Crisis (2000), mengatakan bahwa globalisasi - khususnya dalam financial market, hanya membuat pemegang asset semakin memperbesar jumlah kekayaannya tanpa melakukan apa-apa. Dalam kacamata ekonomi Islam, mereka meraup keuntungan tanpa 'iwadh (aktivitas bisnis riil,seperti perdagangan barang dan jasa riil) Mereka hanya memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam pasar uang dengan kegiatan spekulasiuntuk menumpuk kekayaan mereka tan pa kegiatan produksi yang riil. Dapat dikatakan uang tertarik pada segelintir pelaku ekonomi meninggalkan lubang yang menganga pada sebagian besar spot ekonomi.

They do not work, they do not produce, they trade money for stocks, stocks for bonds, dollars for yen, etc. They speculate that some way to hold their wealth will be safer and more remunerative than some other way. Broadly speaking, the global credit system has been changed over the past two decades in ways that pleased the speculators (Hahnel, 2000).

Hahnel juga menyoroti bagaimana sistem kredit atau sistem hutang sudah memerangkap perekonomian dunia sedemikian dalam. Apalagi mekanisme bunga (interest rate) juga menggurita bersama sistem hutang ini. Yang kemudian membuat sistem perekonomian harus menderita ketidakseimbangan kronis. Sistem hutang ini menurut Hahnel hanya melayani kepentingan spekulator, kepentingan segelintir pelaku ekonomi. Namun segelintir pelaku ekonomi tersebut menguasai sebagian besar asset yang ada di dunia. Jika kita kaji pemikiran Hahner ini lebih mendalam akan kita lihat dengan sangat jelas bahwa perekonomian akan berakhir dengan kehancuran akibat sistem yang dianutnya, yakni kapitalisme ribawi

Penasihat keuangan Barat, bernama Dan Taylor, mempunyai keyakinan bahawa sistem kewangan dan perbankan Islam mempuyai keunggulan system yang lebih baik berbanding dengan sistem keuangan Barat yang berasaskan riba. Krisis keuangan yang sedang dihadapai oleh negara-negara Barat seperti USA dan UK memberikan kekuatan secara langsung dan tidak langsung kepada sistem finansial Islam yang berdasarkan Syariah. Sistem keuangan Barat sudah runtuh.... "Islamic finance and banking will win", begitulah kata penasihat kewangan Barat. BDO Stoy Hayward says financial turmoil puts Islamic products in strong position.

According to the financial advisers Islamic banks are one of the few financial institutions who still have significant sums of money available to finance individuals and corporates, unlike their western banking counterparts, who will only continue to constrict their lending policies in light of the current economic crisis.

Dan Taylor, Head of Banking at BDO Stoy Hayward, says: "As the risk profile of Islamic Banks is generally lower than conventional western banks, this presents a more solid option for both retail and institutional investors and suggests that dealings with Islamic financial institutions will grow dramatically as people switch to more secure products in this environment."

"Further growth of Islamic banking in the UK will also be attributed to their more conservative approach to financing, as the risks are shared with the investor, much like the private equity model. In addition, it is more difficult for Islamic financial institutions to use leverage; therefore their risk profile is naturally lower," continues Taylor (Ahmad Sanusi Husein, IIUM)



Kembali kepada aktivitas riba para spekulan, bahwa Mereka meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain. Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel.



Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang mengandung riba, termasuk transaksi-transaksi maya di pasar uang. Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.

Dapat disimpulkan, perekonomian saat ini digelembungkan oleh transaksi maya yang dilakukan oleh segelintir orang di beberapa kota dunia, seperti London (27 persen), Tokyo-Hong Kong-Singapura (25 persen), dan Chicago-New York (17 persen). Kekuatan pasar uang ini sangat besar dibandingkan kekuatan perekonomian dunia secara keseluruhan. Perekonomian global praktis ditentukan oleh perilaku lima negara tersebut.

Karena itu, Islam menolak keras segala jenis transaksi maya seperti yang terjadi di pasar uang saat ini. Sekali lagi ditegaskan, "Uang bukan komoditas". Praktek penggandaan uang dan spekulasi dilarang. Sebaliknya, Islam mendorong globalisasi dalam arti mengembangkan perdagangan internasional.

Dalam ekonomi Islam, globalisasi merupakan bagian integral dari konsep universal Islam. Rasulullah telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan tahun, dia telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman, dan beberapa negara di kawasan Teluk sekarang. Sejak awal kekuasaannya, umat Islam menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai Eropa Utara. Ternyata nilai-nilai ekonomi syariah selalu aktual, dan terbukti dapat menjadi solusi terhadap resesi perekonomian.

Di zaman Nabi Muhammad jarang sekali terjadi resesi. Zaman khalifah yang empat juga begitu. Pernah sekali Nabi mengalami defisit, yaitu sebelum Perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang. Di zaman Umar bin Khattab (khalifah kedua) dan Utsman (khalifah ketiga) , malah APBN mengalami surplus. Pernah dalam zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tak dijumpai lagi satu orang miskinpun!!!

Apa rahasianya? Kebijakan moneter Rasulullah Saw -- yang kemudian diikuti oleh para khalifah -- selalu terkait dengan sektor riil perekonomian berupa perdagangan . Hasilnya adalah pertumbuhan sekaligus stabilitas.

Pengaitan sektor moneter dengan sektor riil merupakan obat mujarab untuk mengatasi gejolak kurs mata uang -- seperti yang melanda Indonesia sejak akhir 1997 sampai saat ini. "Perekonomian yang mengaitkan sektor moneter langsung dengan sektor riil akan membuat kurs mata uang stabil." Inilah yang dijalankan bank-bank Islam dewasa ini, di mana setiap pembiayaan harus ada underline ttansactionnya. Tidak seperti bank konvensional yang menerapkan sistem ribawi.

Tantangan umat Islam dewasa ini adalah menunjukkan keagungan dan keampuhan ekonomi syariah. Tidak hanya bagi masyarakat muslim, melainkan juga bagi masyarakat nonmuslim, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia international. Islam ternyata mewariskan sistem perekonomian yang tepat, fair, adil, manusiawi, untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan hidup, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat (Penulis adalah Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana UI dan Trisakti)