Senin, 27 April 2009

PKS di Persimpangan Jalan

Senin, 27/04/2009 12:24 WIB

Sebuah jalan dakwah, jalan kebenaran, pastilah akhirnya menemukan ujian di setiap marhalah yang ia lewati untuk mengetahui seberapa kuat ketahanan dirinya. Ketika ia lulus dari ujian itu maka ia telah melompat ke tingkat yang lebih tinggi dalam perjuangannya. Inilah titik pertaruhan itu, sebuah gerakan diuji disini. Ketika ia sukses melewati ujian itu bisa jadi jalan ke depan ibaratnya semakin menyala terang dalam kejelasan, sementara bila ia gagal, maka pada titik ini tidak sedikit pergerakan yang menemukan titik akhirnya pada ujian ini. Ia bisa jatuh, terseok-seok, mungkin tidak bangun lagi.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebuah partai yang mengusung dakwah Islam terlanjur lahir, bahkan tidak muluk-muluk bila dikatakan terlanjur mengukir sejarahnya. Ia terlanjur dikenal, terlanjur ibaratnya tidak sekedar nyemplung ke dalam dunia perpolitikan Indonesia, bahkan ia bisa dibilang telah mewarnai lautan politik itu dengan warna-warna emasnya.

Kini, momentum pergantian kekuasaan 2009 memberi sebuah celah sejarah, dimana kesalahan dalam memasukkan koin di sini akan berakibat fatal terhadap kelangsungan hidupnya, tidak menutup kemungkinan juga sebaliknya, kecermatan, kecemerlangan strategi sehingga menghasilkan keputusan yang benar-benar strategis disini akan mampu mengangkatnya menjadi sosok pahlawan yang tak kan mudah dilupakan orang.

Momentum bersejarah 2009 telah hadir. Pemilu Legislatif telah usai. Pemilu yang diwarnai berbagai in trick politik telah selesai, meski diam-diam kita tetap percaya bahwa tidak semua politisi di negeri ini busuk dengan trick-tricknya mengelabuhi rakyat. Selalu, harapan adanya orang baik di negeri ini masih ada. Kini kita segera menyambut momen yang tidak kalah penting, pemilihan presiden.

Terhembus isu PKS akan berkoalisi dengan Demokrat, PDIP, atau partai-partai lain. Isu ini mengundang banyak komentar. Tentu saja ini ddihubungkan dengan citra PKS sebagai partai yang mengaku partai dakwah. Partai apa yang akan dipilih PKS untuk menyempurnakan kerja-kerja dakwahnya ke depan? Disisi lain ada pertanyaan dan usulan: Bagaimana kalau berkoalisi dengan partai-partai Islam?

Ibarat berjalan, PKS kini tengah di persimpangan jalan. Tidak hanya membentang dua cabang jalan kini dihadapannya, bisa tiga, empat, atau berapapun jalan sesuai kemampuan partai ini melihatnya.

PKS dikenal berideologi Islam yang solid, mapan, dan tidak tergoyahkan. Disatu sisi ia juga sudah mengumandangkan wacana keterbukaan sehingga bisa lebih membaur. Di sisi lain, lihatlah realita pemenang pemilu legislatif kemarin, 3 besar partai yang menang tidak ada satupun yang berasas Islam. Kira-kira, di persimpangan jalan ini, PKS akan memilih jalan apa? Ada banyak kemungkinan yang bersliweran dalam benak PKS sekarang. Bila ia berhenti terlalu lama, roda politik Indonesia mungkin sudah akan segera menggilasnya.

Poros Partai Islam Indonesia

Satu wacana menarik yang mulai mendengung-dengung saat pintu koalisi telah terbuka untuk menghadapi pemilu presiden Juni mendatang. Partai-partai Islam (baik secara asas maupun basis massa adalah Islam) seperti PPP, PKB, PKNU, PBB, PAN, dan PKS sendiri memiliki peluang besar untuk berkoalisi dan membentuk gabungan partai Islam Indonesia – Poros Partai Islam.

Pertama, mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Kenapa selama ini kita terpecah-belah dalam banyak partai sementara kita sama-sama mengusung nilai Islam? Sebuah pendapat yang cukup rasional dan realistis.

Kedua, Kebangkitan Islam Indonesia. Sebenarnya ini bukan hal baru lagi, tengoklah saat ini poduk-produk Islam semakin diminati. Kepemimpinan Islam, ekonomi syariah, pendidikan dengan sistem Islam semakin mudah ditemui di negeri kita. Mulai merebaknya wacana back to Islam pada dasarnya memberi angin segar pada dunia Islam untuk bengkit. Begitu pun dengan momentum nasional ini, saatnya Islam menjadi pemimpin Indonesia. Wacana kepemimpinan Islam mulai menguat di kalangan umat Islam sendiri, sehingga bila partai-partai Islam bersatu dan mengusung satu kepemimpinan, kepemimpinan Islam, memiliki peluang besar untuk menang dalam pilpres nanti.

Ketiga, perolehan suara partai-partai Islam Indonesia di pileg kemarin bila digabung akan menjadi satu kekuatan yang signifikan sebagai penyalur aspirasi masyarakat Indonesia. Jumlah suara dari partai-partai Islam tersebut bila digabung bisa menghasilkan lebih dari 30%. Ini cukup kuat untuk menjadi daya dorong maupun daya tekan dalam hal mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Setidaknya tiga poin di atas cukup menjadi alasan logis para pendukung terbentuknya Poros Partai Islam Indonesia, selain alasan ideologis yang paling mendasar: PKS kan berideologi Islam, kenapa memilih berkoalisi dengan partai-partai yang asasnya atau basis massanya yang bukan Islam?
Sudah cukupkah ini menjadi jalan terang bagi PKS untuk menerima usulan membentuk Poros Partai Islam untuk mengislamisasikan Indonesia sesuai visinya membentuk negara madani? Bersatu dengan saudara-saudara sendiri melawan kekuatan ’non-Islam’ dengan gerakan yang diperkirakan jauh lebih masif?

Berikut ini mungkin bisa menjadi pertimbangan:

Pertama, tengoklah kondisi umat Islam Indonesia. Aliran pemikiran dalam Islam yang beraneka ragam, tradisi dan budaya Islam yang majemuk, serta kondisi masyarakat Islam yang plural, akankah bersatu dengan istilah Poros Tengan Umat Islam dengan kondisi tersebut?
Ada orang yang sangat fanatik berpikir, ada yang tengah-tengah, ada yang justru bebas kebablasan. Ada yang setuju demokrasi, ada yang menolak mentah-mentah, ada yang masa bodo, dan sebagainya. Inilah kondisi riilnya, lantas pertanyaannya, akankah kerja-kerja ke depan produktif dengan masalah internal yang begitu rumit? Apa nanti justru umat Islam tidak terjebak dalam perdebatan masalah internal berkepanjangan? Saya berpikir justru nanti forum-forum mereka hanya berisi aturan-aturan normatif tanpa aplikasi yang riil dan solutif.

Kedua, lihatlah realita perolehan suara pemilu legislatif yang baru saja usai. Siapa pemenangnya? Partai Islam kah? Bahkan tiga besar perolehan suara jelas-jelas diperoleh partai yang asasnya bukan Islam. Ini bisa jadi menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim belum memiliki ketertarikan yang kuat untuk memilih partai Islam, dengan kata lain mereka belum memiliki kepercayaan penuh untuk diatur dan dikelola oleh partai-partai Islam. Islam belum memiliki kepercayaan untuk menjadi sistem yang kokoh dalam mengelola negara. Lantas, kalaupun nanti akan ada Poros Tengah partai Islam, bisakah mereka memaksakan konsep Islam yang mereka bawa untuk diterapkan di Indonesia yang plural dan majemuk ini? Adakah yang lebih realistis dari pandangan ini dalam melihat fenomena tersebut?

Ketiga, kalaupun akhirnya terbentuk Poros Tengah Islam, tidakkah justru itu akan mempersempit ruang gerak partai-partai Islam. Kesan eksklusif akan muncul, kesan mementingkan kelompok justru akan menajam, dan ini akan memperburuk citra Islam itu sendiri. Bukankah Islam tidak diturunkan untuk memikirkan dirinya sendiri?

Keempat, dengan terbentuknya Poros Tengah ini justru membuat kesan seakan-akan Islam bisa dijadikan sebagai musuh bersama. Para musuh Islam lebih mudah menjatuhkan Islam dengan melihat kesalahan sebagian kecil dari kelompok ini, karena ia sudah mewakili kelompok Islam itu sendiri.

Satu pertanyaan lagi muncul, kalau partai-partai Islam bersatu, lalu dimanakah posisi umat Islam yang tidak memilih partai ini, misal mereka memilih partai Demokrat, PDIP, atau Golkar? Dimanakah posisi mereka? Di luar poros tengah Islam, lantas mendapat predikat ’kafir’?

Saya yakin, kita butuh gerakan yang solid untuk memikul beban perjuangan ini, bukan sekedar bersatunya kelompok-kelompok Islam Indonesia, tapi lebih dari itu adalah kualitas kader-kader yang tergabung di dalamnya. Apa gunanya kelompok-kelompok Islam menyatakan bersatu tapi hati mereka masih saling mencurigai dan dengki.

Wallahu ’alam.

PKS Berkoalisi dengan Partai Non-Islam (Asas dan Basis Massanya)

Mungkin komentar yang pertama akan muncul adalah ”PKS tidak ideologis, malah membantu kaum kuffar bukannya bergabung dengan umat Islam sendiri. Katanya partai dakwah? PKS telah menjual harga dirinya sebagai partai Islam. Bagaimana mungkin partai yang selama ini dikenal solid, teratur, rapi, dan Islami tiba-tiba menjadi partai yang mendukung partai yang asas dan basis massanya bukan Islam? Bolehlah berpolitik, tapi prinsip jangan luntur. Nampaknya ideologi PKS telah luntur oleh kilaunya dunia kekuasaan.”. Begitukah ?

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah sudah cukup kuatkan PKS mampu mempengaruhi kebijakan partai-partai besar tersebut? Jangan-jangan PKS malah terwarnai oleh sistem yang buruk sehingga bukan kebaikan yang ia hasilkan justru kemudharatan.

Mari kita analisis lebih dalam. Dibalik keraguan di atas tentu ada sisi baik yang muncul dari koalisi dengan partai dengan asas maupun basis massa bukan Islam.

Pertama, PKS melakukan sebuah lompatan politik yang tidak semua partai Islam berani mengambilnya, berkoalisi dengan sebuah partai besar; mempertaruhkan ideologi dan harga diri, untuk mendapatkan citra kinerja dan memberikan kontribusi yang lebih riil, baik untuk masyarakat umum maupun Islam itu sendiri.
Ibaratnya masuk ke sistem buruk, PKS membawa warnai beda, warna kebaikan. Ia mungkin akan diuji dengan pertaruhan ideologi dan harga diri, demi bisa memberikan kontribusi dan solusi bagi rakyat Indonesia. Namun ia bisa jauh lebih berkontribusi dengan ikut bermain daripada sekedar menonton bukan?

Jelas, kalaupun koalisi ini akhirnya terjadi, bisa dipastikan PKS akan menuai banyak tekanan baik dari dalam internal organ ini maupun dari luar. Disinilah kader-kader PKS diuji ketsiqohannya terhadap qiyadah mereka. Namun dari sinilah PKS justru akan membuktikan kinerjanya lebih konkrit, bagaimana mungkin semboyan ”bersih, peduli, dan profesional” itu akan terbukti kalau tidak segera beraksi sebagai pemain? Sementara koalisi dengan partai besar memang jauh lebih menjanjikan untuk menjadi ’pemain inti’ daripada sekedar ’pemain cadangan’. Dan bukankah kontribusinya jauh lebih terasa? Itulah lompatan politik PKS: pencitraan dan kontribusi riil untuk masyarakat Indonesia. Bukankah dakwah hadir untuk memberi kemanfaatan pada umat? PKS mungkin tidak berkuasa secara struktural namun kontribusinya jauh bisa dirasakan masyarakat Indonesia dengan penetrasi kebijakan pemerintah.

Kedua, Citra sebagai Partai Terbuka akan semakin menguat. PKS tidak terlihat eksklusif dengan citranya sebagai partai Islam. Kemampuannya berbaur dengan partai yang tidak berasas Islam mampu menampilkan citra PKS yang kooperatif, akomodatif terhadap semua kepentingan, dan keluasan daya jangkau, tidak hanya untuk kalangan sendiri, namun juga masyarakat di luar kalangannya. PKS kemungkinan besar mampu meminimalisir kesan eksklusif dengan cara ini.

Ketiga, PKS ingin membuktikan kemampuan dan kesiapan mengelola negara tidak dengan mengunggulkan sisi normatif Islam, tapi dari sisi aplikatif dalam mengelola negara. PKS memberi bukti, bukan sekedar teori akan negara madani. Disinilah keunggulan Islam akan mampu dibuktikan. Melalui jalan ini PKS lebih mudah merebut simpati masyarakat untuk kemudian mempercayakan hidup mereka diatur dengan hukum Islam. Tentu saja ini bukan hal sederhana, butuh kerja keras, waktu panjang, tim solid, dan ketajaman imtuisi di samping kebutuhan mendasar lainnya. Misalnya nanti PKS berkoalisi dengan partai yang berkuasa, kemudian ia mendapat lahan kerja, maka ia mampu membuktikan kinerjanya yang lebih maksimal, daripada tidak berkoalisi dan tidak mendapatkan kesempatan membuktikan kinerja, bagaimana akan menghasilkan citra ”Bersih, Peduli, Profesional”?

Tentu saja kalau keputusan ini diambil, para anggota ”Dewan Syuro” PKS harus mempertimbangkan banyak hal agar penetrasi kebijakan ke pemerintah yang berkuasa nantinya optimal.

Wallahu ’alam.

PKS menjadi Partai Oposisi Pemerintah

Jalan lain yang mungkin menjadi pilihan lain PKS adalah menjadi partai oposisi pemerintah selama 5 tahun ke depan. Menilik pengalaman dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengklaim dirinya menjadi partai oposisi dalam pemerintahan SBY lima tahun ini, kita mendapat banyak pelajaran di sana.

PDIP dalam pemilu 2004 kalah perolehan suaranya dari Partai Demokrat kemudian mengambil posisi sebagai partai oposisi dalam pemerintahan SBY. Selama ini Megawati selaku Ketua Umum PDIP banyak melakukan kritisi terhadap kinerja pemerintahan SBY. Sayangnya pengkritisian ini cenderung sekedar kritisi tanpa tawaran solusi yang konkret. Berbagai kebijakan SBY yang merugikan rakyat langsung mendapat kecaman gencar dari PDIP, secara otomatis memberikan citra yang bagus untuk PDIP, model seperti inikah juga yang akan diterapkan PKS bila menempatkan dirinya sebagai Partai oposisi 5 tahun mendatang?

Saat ini Demokrat memiliki peluang terbesar untuk memimpin Indonesia 5 tahun mendatang. SBY merupakan capres terkuat disana. Maka ada banyak hal yang mesti dipikirkan.
Pertama, siapkah PKS dengan platform kenegaraan Indonesia? Artinya, kalau selama ini PKS gembar-gembor akan mendapatkan suara 20% dalam pemilu legislatif dan bila itu tercapai akan mencalonkan presiden dalam pemilu presiden – kenyataannya cita-cita 20% itu tidak tercapai sehingga pencalonan presiden pun gagal –, sudahkah PKS siap sesungguhnya dengan konsep kepemimpinan yang ia tawarkan?

Bila memang PKS telah memiliki konsep yang jelas terkait konsep kenegaraan yang ia bawa, ini akan menjadi senjata andalan kalau nantinya ia menempatkan dirinya sebagai partai oposisi dalam pemerintahan selanjutnya. Tentu saja dalam hal ini PKS sudah harus siap dengan data valid kekurangan dan kelebihan pemerintahan selama ini sehingga mengetahui betul bagian mana yang harusnya diperbaiki, dihapus, atau dipertahankan. Sementara SBY, yang sudah 5 tahun ini berpengalaman mengelola Indonesia, tentu memiliki platform kenegaraan yang mungkin sangat matang untuk 5 tahun berikutnya. Bila tidak hati-hati kekritisan itu malah bisa berbalik membunuh PKS sendiri.

Kedua, tawaran solusi apa yang akan ditawarkan PKS atas permasalahan bangsa yang mungkin tidak diakomodasi oleh pemerintah yang berkuasa. Ini menjadi catatan penting. Mungkin PKS memiliki banyak data tentang berbagai penyimpangan dan kebobrokan bangsa kita, namun bila ia sendiri tidak mampu menawarkan solusi, ini malah akan menjadi bumerang. Ia tidak mendulang suara justru masyarakat kecewa.

Ketiga, menjadi partai oposisi tidak berarti harus berdiri sendiri, tekanan terhadap pemerintah akan semakin kuat bila disampaikan oleh semakin banyak partai. Maka PR PKS dalam hal ini adalah seberapa kuat PKS mampu merangkul partai lain untuk menjadi partai oposisi sehingga kebijakan yang dihasilkan nantinya bisa lebih kuat daya dorongnya.

Perkembangan koalisi terakhir untuk partai Demokrat adalah bahwa partai-partai Islam Indonesia mulai merapat ke Demokrat, seperti PAN, PKB, PPP. Bila akhrinya PKS mengambil peran sebagai partai oposisi nantinya bisa jadi ini rawan konflik dengan partai Islam tersebut. Karena kritisi terhadap kebijakan pemerintah otomatis kritisi juga terhadap partai-partai Islam tersebut karena mereka mendukung Demokrat. Apakah ini malah tidak mengundang konflik dalam tubuh umat Islam sendiri?

Bila kita belajar dari PDIP, selama 5 tahun menjadi partai oposisi SBY, seberapa besar pengaruhnya terhadap kebijakan yang diambil SBY? Ini cenderung menunjukkan bahwa di Indonesia keberadaan partai oposisi belum terlalu signifikan dalam mempengaruhi kebijakan pemerintahnya. Walaupun mungkin saja ini akan berbeda bila PKS, sekali lagi, memiliki konsep yang lebih konkret dan aplikatif.

Realita PKS adalah partai dakwah menuntut PKS untuk bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk umat. Bila hanya sekedar kekritisan yang ditawarkan tanpa solusi konkret yang bisa diterapkan, lebih baik PKS mengambil posisi ’damai’ dengan mendapat kesempatan untuk berbuat lebih banyak.
Wallahu ’alam.

PKS sebagai Partai Independen

Seperti diungkapkan salah seorang politisi PKS, Agus Purnomo dalam detik.com bahwa mengambil posisi independen lebih nyaman, tetap saja ada banyak tantangan ketika PKS memilih posisi ini.
Baiklah mungkin dengan menjadi partai independen PKS jadi lebih bebas, pertama, tidak terkena dampak buruk bila partai koalisinya tercitrakan buruk. Kedua, bisa lebih konsen dalam hal menyampaikan mandat rakyat. Ketiga, mungkin PKS bisa lebih konsen dengan agenda-agenda internal. Namun ini pun saya pikir tidak cukup menjanjikan untuk kelangsungan hidup PKS ke depan.

Partai independen dalam beberapa hal cenderung egois karena lebih fokus pada agenda-agenda partai, meskipun itu ditujukan mungkin untuk kepentingan negara. Dan ini bertentangan dengan wacana keterbukaan yang selama ini dihembuskan oleh PKS. Akan terjadi kontraproduktif dalam capaian-capaian yang digagas dengan cara yang digunakan. Menurut saya, justru PKS berjalan mundur bila mengambil pilihan ini.

Selain itu kesan ini mungkin akan terderivasi pada kesan semakin ekslusifnya PKS dari partai-partai yang lain karena menutup rapat-rapat pintu koalisi dengan partai lain. Kalau memang saat ini dakwah telah sampai pada mihwar muasasi menuju dauli, tidak layak kendaraan kita – PKS – justru menarik diri dari percaturan politik dengan menjadi partai independen.


Itu merupakan beberapa kemungkinan pilihan yang akan diambil PKS atas hasil pileg kemarin dan menghadapi pilpres Juli besok.

Bagaimanapun kesatuan itu lebih diprioritaskan daripada capaian-capaian besar di lapangan namun membuat kita berpecah belah.

Di sinilah jamaah dakwah ini diuji, di persimpangan jalan ini.

sumber www.eramuslim.com

Wahtini
Aktivis Mahasiswa UNY
tinwithspirit@eramuslim.com

Kamis, 23 April 2009

Pasangan Pemilik Kebun Surga

oleh M. Arif As-Salman Kamis, 23/04/2009 08:06 WIB Cetak | Kirim | RSS

Senyum, itulah sedekah yang selalu saya dapatkan setiap kali bertatap muka dengannya. Sedekah yang mudah dan indah. Sedekah yang menghangatkan suasana. Sedekah yang menjadi obat bagi hati yang diliput kesusahan. Ia adalah pemilik senyum mesra yang dikenal sahabat-sahabatnya.

Lelaki yang telah dikarunia seorang buah hati ini selalu tampak bersemangat. Semangat itu selalu saya temukan dari pantulan sinar wajahnya. Dari kata-katanya yang sanggup meruntuhkan tembok-tembok kemalasan yang menutupi hati.

Saya sudah sejak lama mengenalnya. Sejak tahun pertama saya datang ke Mesir. Dan kini, setiap minggu saya datang ke rumahnya mengikuti kegiatan pengajian. Sebuah majlis iman dan ilmu. Majlis yang dicintai Allah swt, dicari-cari malaikat dan disukai penduduk langit. Majlis yang menyejukkan hati dan menentramkam jiwa orang yang hadir di dalamnya.

Walau kecil dan sederhana, rumahnya selalu ramai dikunjungi oleh teman-temannya dan sahabat-sahabat istrinya. Setiap kali saya datang ke rumah kecil itu, setiap kali itu juga tamu-tamu berdatangan silih berganti. Ada kegembiraan yang saya tangkap dari raut muka mereka dan ada rasa kepuasan yang mereka peroleh setelah kunjungan itu. Bahkan saya menduga rumah kecil itu tempat berlabuh permasalahan banyak orang. Rumah itu semakin bercahaya dengan sambutan hangat darinya dan istrinya.

Saya seolah membayangkan rumah mungil itu umpama rumah sakit. Dan dokternya, ia dan istrinya. Bahkan setiap kali saya dan teman-teman saya datang ke rumahnya, ia selalu bertanya, "Adakah yang ingin antum bagi dengan abang? Adakah yang bisa abang bantu?". Kalimat-kalimat tulus itu tak pernah bosan terlontar dari bibirnya. Ia ibarat dokter yang selalu bersedia mengobati penyakit-penyakit yang diderita setiap pasien.

Walau rumahnya kecil, tapi hati pemiliknya seluas samudera. Hati yang bersedia menampung setiap keluh dan kesah jiwa. Hati yang tenang dan damai. Hati yang mencerahkan setiap hati yang lain dengan kata-kata optimis dan meyakinkan. Hati yang bisa mengobati keraguan yang tengah menyerang jiwa-jiwa yang lemah.

Saya bersyukur diperkenalkan dengan dirinya. Sosok yang begitu sanggup membangkitkan gairah hidup saya. Tatapan matanya serasa sudah cukup untuk membangunkan jiwa-jiwa yang tengah tertidur. Kata-katanya mampu merubah cara pandang saya tentang sebuah permasalahan. Ia dicintai banyak orang. Kata-katanya menjadi pemompa semangat yang kendor. Ya, sungguh beruntung ia dan istrinya, Allah swt telah menjadikan mereka jalan kebaikan bagi orang lain.

Setiap kali saya dan teman-teman datang ke rumahnya, kami selalu dihidangkan menu-menu yang lezat. Sehingga, setiap saya pulang dari rumahnya saya mendapat ilmu, iman bertambah, semangat beramal semakin kuat dan juga perut yang kenyang. Subhanallah.

Saya jadi teringat dengan kisah salah seorang Anshar yang memuliakan tamu.
Dari Abu Hurairah r.a berkata, "Suatu ketika seseorang datang menemui Nabi saw. Ia menceritakan kepada Nabi saw tentang kesusahan hidup yang tengah menimpanya. Kemudian Nabi saw menyuruh seseorang untuk menanyakan pada beberapa orang istri beliau, apakah di rumah beliau ada makanan atau tidak. Setelah ditanyakan, semua istri beliau menjawab, 'Demi Allah yang telah mengutusmu dengan haq, tidak ada di rumah kami sedikit pun makanan kecuali hanya air.' Kemudian beliau bertanya kepada para sahabatnya, 'Adakah diantara kalian yang sanggup melayani orang ini sebagai tamunya pada malam ini?'.

Seorang dari kaum Anshar menyahut, 'Wahai Rasulullah, sayalah yang akan menjamunya.'
Orang Anshar itupun membawa orang tadi ke rumahnya. Ia berkata pada istrinya, 'Muliakanlah orang ini, ia adalah tamu Rasulullah saw.'
Dalam riwayat lain, ia berkata pada istrinya, 'Adakah makanan yang bisa dihidangkan?'
Istrinya menjawab, 'Tidak ada, kecuali sedikit yang hanya cukup untuk memberi makan anak kita.'
Orang Anshar itu berkata, 'Kalau begitu, engkau sibukkan mereka dengan sesuatu, jika mereka ingin makan malam, engkau tidurkan mereka. Apabila tamu kita masuk, engkau padamkan lampu dan perlihatkan pada tamu itu bahwa seolah-olah kita juga ikut makan bersamanya. Kemudian mereka duduk menemani tamu makan. Malam itu, suami istri tersebut tidur dalam keadaan lapar. Ketika di pagi hari, orang Anshar itu datang menemui Rasulullah saw. Beliau bersabda, 'Sesungguhnya Allah swt kagum dengan apa yang kalian lakukan pada tamu kalian tadi malam." [HR Bukhari (7/149) no. 3798 dan Muslim (3/1624) no. 2054]. Subhanallah.

Inilah barangkali diantara rahasia yang ia dan istrinya miliki. Inilah yang menjadikan rumahnya selalu ingin didatangi banyak orang. Rumah yang bagai taman penentram hati bagi orang-orang yang tengah dirundung kegelisahan. Ia telah mengamalkan hadits yang disampaikan Rasulullah saw tentang memuliakan tamu. Sebagaimana sabda Rasulullah saw di hadits lain, "Barangsiapa yang beriman pada Allah swt dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya." [HR Bukhari (10/460) no. 6018 dan Muslim (1/68) no. 47]

Hari itu, seusai melakukan kegiatan pengajian pekanan, saya melihat istrinya turun ke lantai bawah dari apartemen, menuju ke sebuah rumah salah seorang mahasiswi yang juga telah berkeluarga. Di tangannya ada bungkusan, berisi makanan yang saya makan ketika saya berkunjung. Saya terharu, bahkan dalam hati ada rasa kagum yang menyelinap. Saya hampir tak kuasa membendung rasa haru itu. Bahkan tak terasa air mata saya hampir menetes. Subhanallah, sebuah keluarga yang mulia. Saya jadi teringat dengan hadits Rasulullah saw yang berbunyi, "Dari Abu Dzar r.a berkata, bersabda Rasulullah saw, "Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak makanan yang berkuah, perbanyaklah airnya, kemudian bagikanlah juga pada tetanggamu." [HR Muslim (4/2025) no. 2625]

Mereka selalu memuliakan tamu dan memuliakan tetangga. Mereka memiliki sifat ikram dan sifat itsar yang tinggi. Saya jadi iri, saya ingin meniru prilaku mulia itu yang mungkin sudah hampir jarang ada. Apalagi yang hidup di daerah perkotaan, yang cenderung hidup individualistis.

Rumah sederhana itu ibarat kebun sorga yang memberi ketenangan kepada siapapun yang berkunjung kesana. Rumah yang teduh dan penuh kenyamanan. Rumah yang berisi buah-buah kebaikan dari kata-kata dan sikap pemiliknya. Rumah yang darinya mengalir sugai-sungai kebaikan kepada orang-orang yang berada di dalamnya dan yang tinggal di sekitarnya. Rumah itu umpama taman surga yang turun ke bumi, tempat mengobat resah dan mencari ketenangan jiwa.

sumber :www.eramuslim.com

Selasa, 14 April 2009

PKS dan Masa Depan Politik Indonesia

Selasa, 14/04/2009 13:56 WIB Cetak | Kirim | RSS

Dari hasil pemilu 2009 ini sudah dapat menilai arah politik Indonesia. Pembagian kekuatan politik berdasarkan hasil perolehan suara, menunjukkan tiga partai, Demokrat, Golkar dan PDI, mempunyai share yang cukup besar sekitar 50 persen dari total suara. Ketiga partai yang leading berdasarkan perolehan suara ini, dapat dipastikan akan menentukan arah dan dinamika masa depan politik Indonesia.

Berdasarkan pengamatan yang ada memperlihatkan tingginya tingkat dinamika dikalangan partai-partai pasca pemilu ini. Dari pemetaan yang ada menunjukkan arah politik, sudah mengerucut menjadi dua kutub, yaitu kubu Mega dengan kubu SBY. Mega dan SBY masing-masing menjadi lokomotif, yang akhirnya ditentukan dalam pilpres yang akan berlangsung di bulan Juli nanti. Siapa yang bakal memenangkan pertarungan di pilpres nanti?

Dari awal kalau melihat kecenderungan berdasarkan hasil polling yang dilakukan oleh seluruh lembaga suvei, tidak akan ada sirkulasi (perubahan) kepemimpinan di Indonesia, dan nampaknya SBY akan tetap leading, jika nantinya di pilpres menghadapi Megawati. Masyarakat akan memilih SBY, yang memiliki gaya kepemimpinan yang relative ‘soft’ (santun), tidak banyak melakukan kontroversi, meskipun selama lima tahun ini, tidak banyak progress yang dihasilkan pemerintahan SBY, khususnya dalam menghadapi situasi krisis, dan upaya yang dapat mengeluarkan Indonesia dari problem krisis ini.

Memang, saat menjelang pemilu, usai Partai Demokrat menyelenggarakan Rakernas di Jakarta, yang berlangsung di Pekan Raya Jakarta, sempat menimbulkan keratakan hubungan antara SBY-JK, yang dipicu pernyataan Ahmad Mubarok, salah satu ketua Partai Demokrat, yang menyinggung Partai Golkar, yang memprediksi perolehan suara Partai Golkar hanyalah 2.5 persen dan menyebabkan ketersinggungan fungsionaris Partai Golkar, mendorong Wapres Jusuf Kalla menarik diri dari ‘hubungan’ politiknya dengan SBY. Selanjutnya, Rapim Golkar memutuskan memajukan JK menjadi calon presiden dalam pemilu mendatang. Meskipun, pernyataan Ahmad Mubarok itu, buru-buru diralat oleh Presiden SBY dan Anas Urbaningrum, selaku Ketua Partai Demokrat, yang meminta maaf kepada Partai Golkar.

Menjelang pemilu yang lalu, ada kekawatiran Presiden SBY, akibat dari pecahnya ‘kongsi’ dengan JK dan Partai Golkar. Kemudian, Presiden SBY mengundang sejumlah pimpinan partai politik, tujuannya membangun basis kekuatan politik melalui koalisi. Presiden SBY tidak ingin kehilangan momentum politik, akibat dari pecahnya ‘kongsi’ dengan JK dan Partai Golkar. Selebihnya, mendekatnya pemilu 2009, adalah sebuah pertaruhan politik, yang tentu harus dimenangkan, karena faktor perolehan suara Partai Demokrat ini, yang menjadi kendaraan Presiden SBY, sebagai ‘single’ faktor yang harus dimenangkan, agar dirinya memiliki legitimasi untuk maju sebagai calon presiden di pilpres nanti. Di Cikeas hadir tokoh-tokoh partai dari PKS, PKB, dan PAN,mereka bertemu dengn Presiden SBY.

Tentu, dari awal yang menginginkan pecahnya ‘kongsi’ SBY-JK ini adalah PKS. Karena, asumsinya Partai PKS, di dalam pemilu 2009 ini, berhasil mencapai target 20 persen suara, dan akan meningkatkan posisi politiknya, yang memberi peluang kepada kader PKS, menggantikan posisi JK sebagai capres, dan bersanding dengan SBY, di pilpres mendatang. Meskipun, secara dramatik, usai JK pecah ‘kongsi’ dengan SBY itu, para pimpinan PKS mengundang JK melakukan kunjungan ke kantor DPP PKS di Warung Buncit. Dan, ketika berlangsung pertemuan antara JK dengan Presiden Partai PKS, Tifatul Sembiring yang didampingi Dr.Hidayat Nurwahid, sambil ketiganya mengangkat tangan menyatakan kesediannya untuk membangun sebuah koalisi politik.

Tapi, kunjungan Wapres Jusuf Kalla ke kantor DPP PKS di Warung Buncit itu, tidak mempunyai umur panjang, sampai menuju ke sebuah koalisi politik. Karena, tak lama, sebuah peristiwa baru telah muncul, di mana Ketua Majelis Syuro PKS, H.Hilmi Aminuddin Lc, bertemu dengan Presiden SBY di Cikeas, dan menegaskan adanya koalisi dan dukungan politik kepada Presiden SBY dan Partai Demokrat. Maka, sesungguhnya deklarasi politik yang berlangsung Warung Buncit itu, hanyalah menjadi sebuah ‘mujamalah’ (basa-basi) politik, yang tak mempunyai arti apa-apa. Dan, tentu PKS akan memilih berkoalisi dengan Partai Demokrat dan mendukung Presiden SBY, yang berdasarkan berbagai lembaga survei suaranya terus leading, dan mengungguli partai-partai lainnya.

Sebuah langkah politik yang sangat imajinatif, sudah dilakukan para elite PKS, yang sudah membayangkan bahwa PKS akan melakukan ‘take over’ kekuasaan di pilpres mendatang. Dengan asumsi PKS bisa ‘grow up’ secara signifikan suaranya melampaui kisaran 20 persen suara. Dengan jumlah suara ini, PKS akan menduduki urutan kedua, dan dapat menggeser Golkar dan PDI.

Asumsi yang sifatnya matematis ini, dan dengan keyakinan dapat tercapai, karena adanya dukungan mesin politik Partai PKS yang benar-benar ‘in’ untuk mendapatkan target politik, dan sudah terbayang,masa depan Indonesia pasca pemilu 2009 ini, Partai PKS bersama dengan Demokrat dan Presiden SBY akan mengelola negara secara penuh. Maka, sepanjang menjelang kampanye yang berlangsung telah beredar di berbagai daerah spanduk, baliho, dan stiker, yang bertuliskan : “SBY presidenku, dan PKS partaiku”.

Tapi, hasil pemilu 2009, sangat mengejutkan semua fihak, termasuk para pemimpin partai politik, betapa tidak, justru yang menjadi pemenang pemilu ini, tak lain adalah ‘Golput’, yang jumlahnya mencapai 45 persen suara. Meskipun, sebelum pemilu ‘Golput’ sudah dihantam habis, termasuk oleh ‘Fatwa’ MUI, yang melarang adanya ‘Golput’, tapi nampaknya tak mempan. Inilah yang menyuramkan ambisi dan imajinasi para pemimpin partai politik.

Semua angan dan keinginan menjadi teruji kembali. Apakah masih valid atau tidak sebagai sebuah keinginan atau cita-cita. Di mana Partai Demokrat yang paling tinggi suaranya hanya mendapatkan 20,32 persen, Partai Golkar mendapatkan suara 14.5 persen sedangkan Partai PDIP mendapatkan suara 14.2 persen. Jadi, Partai yang paling besar suaranya Partai Demokrat hanya 20 persen, dan dikalahkan oleh suara ‘Golput’ yang jumlah mencapai 45 persen. Implikasinya setting politik dan pola koalisi ke depan akan berubah kembali.

Di awal sudah dijelaskan pasca pemilu 2009 ini, sudah nampak pengkutuban partai-partai, melalui koalisi yang sudah berlangsung. Tiga partai politik, Demokrat, Golkar, dan PDIP, dan tokohnya SBY, JK, dan Mega, sudah sangat jelas ketiganya akan terlibat secara esensi dalam ‘power game’ (permainan kekuasaan). Ketiganya, yang akan menentukan arah politik, dan bagaimana pola pertarungan politik yang akan datang, dan tentu dengan segala implikasinya. Termasuk pilihan politik mereka, yang berimplikasi kepada pola koalisi yang akan datang.

Persoalannya, pasca pemilu ini, pilihan-pilihan politik yang dilakukan SBY, JIK, dan Mega, ke mana arahnya? Tentu, yang menarik, apakah JK akan kembali ke SBY, dan apakah SBY mau menerima JK? Dari hitungan yang ada, SBY akan menerima kembali JK. Karena, lima tahun terakhir pemerintahannya, SBY ingin dikenang sebagai negarawan, dan mewariskan keadan yang baik, dan menerima penghargaan sebuah pemerintahan yang disebut dengan penuh ‘succses story’ oleh bangsa Indonesia. SBY pasti tidak ingin sesudah tidak menjadi presiden mendapatkan hujatan dan makian rakyat, karena kegagalannya.

Maka, asumsinya SBY ingin membangun pemerintahan yang kuat, dan mendapatkan dukungan parlemen, yang juga kuat. JK yang sekarang memimpin Golkar, dan sebagai wapres, pasti ingin meninggalkan jejak yang baik, keberhasilannya menyelesaikan konflik di Aceh, Ambon, dan Poso, harus ditambah dengan menyejaterakan rakyat. Selain, keduanya pasti ingin mewariskan partai yang masih dapat eksis di masa depan. Partai Golkar dan Partai Demokrat tetap eksis di masa depan. Dan, semua itu sangat tergantung dari tingkat hubungan SBY – JK, yang keduanya sebagai lokomotif partai, dan keberhasilannyas mengelola pemerintahan lima tahun mendatang.

Berdasarkan kepentingan kedua partai politik itu, Partai Golkar dan Partai Demokrat, yang sama-sama harus mempertahankan nilai-nilai strartegis yang mereka ingin capai, kemungkinannya, SBY-JK akan rujuk kembali dan akan membangun koalisi. Karena, tidak dapat dibayangkan, tingkat destruktifnya, ketika pemerintahan SBY, harus menghadapi oposisi politik yang dilakukan oleh Golkar dan PDIP, serta partai kecil lainnya? Pilihan yang paling realities ini, hanyalah pilihan yang sifatnya politis, yang harus dilakukannya.

Nampaknya, Golkar sendiri tak banyak punya pilihan, ia harus realistis, karena perolehan suaranya hanya 14.5 persen. Partai Golkar, tidak mungkin melakukan koalisi dengan PDIP, yang sejak awal berbeda secara politik, dan yang paling masuk akal melakukan koallisi dengan demokrat. Dengan demikian, pemerintahan SBY akan mendapatkan dukungan parlemen yang kuat, selain dari dukungan Partai Golkar, juga mendapatkan dukungan dari PKB, PAN, PPP, PBB, dan sejumlah partai kecil lainnya.

Berdasarkan hasil perolehan suara yang ada, Partai PKS yang pada awalnya mempunyai ambisi, dan menginginkan masuk ke dalam ‘Istana’, sementara nantinya harus puas, kemungkinannyan hanya masuk ke dalam kabinet. Karena, PKS suaranya di pemilu 2009 ini, tak mencapai 10 persen, dan dari hasil semua lembaga survei berkisar 7-8 persen. Keinginannya untuk mendampingi Presiden SBY, kader PKS yang ingin menjadi wakil presiden, sementara itu, harus disimpan dahulu di ‘laci’. Karena, faktanya gagal untuk melakukan ‘booming’ suara, meskipun sudah melakukan berbagai langkah politik, yang sangat ‘dramatis’ dan ‘habis-habisan’ untuk mendapatkan suara. PKS sudah mengalami ‘lossing to bargain’ (kehilangan daya tawar) terhadap SBY dan Golkar, karena memang suaranya tidak mencapai 20 persen, seperti yang ditargetkan.

Mungkin, awalnya PKS menjadi ‘pionir’, yang mendukung Presiden SBY. Tapi, yang namanya politik, yang berbicara hanyalah sebuah kepentingan. Menurut hitungan politik, tak mungkin SBY mengambil ‘capres’ dari PKS, dan mengalahkan Golkar, meskipun awalnya JK dan Golkar sempat pencah kongsi dengan SBY. Inilah sebuah pelajaran politik yang paling berharga, yang perlu mendapatkan perhatian, bagi siapapun yang terlibat dalam politik.

Selanjutnya, dari pernyataan Sekjen Partai PKS, Anis Mata, menyatakan, jika SBY mengambil Golkar, dan menjadikan JK sebagai wakil presidennya, langkah politik yang akan diambil PKS, menarik dukungan kepada SBY dalam koalisi. Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, yang merupakan kader PKS, yang sudah sering disebutkan untuk di ‘duetkan’ dengan SBY, juga sudah mengeluarkan nada, yang pesimis, bahwa kemungkinan dirinya akan disandingkan dengan SBY. Hidayat menyatakan : “PKS memang tidak dalam posisi mengajak berkoalisi, karena suaranya tak mencapai target 20 persen. Tapi, bila SBY-JK kembali di duetkan, dia mengatakan, “PKS mungkin berpikir ulang”, tegas Hidayat.

Tapi, peluangnya PKS menjadi oposisi terhadap pemerintahan SBY, di masa yang akan datang, kemungkinan sangat tipis. Dan, mestinya PKS berani mengambil posisi oposisi, sambil terus membangun kembali partainya. Hanya, nampaknya, yang pasti PKS, tetap ingin mempunyai akses terhadap kekuasaan, yang akan diperjuangkan dengan SBY-JK, tak lain adalah portofolia di kabinet mendatang, berapa jumlah kursi di kabinet yang akan didapatkannya.

Atau apakah PKS berani mengambil ‘opsi’ politik meninggalkan SBY, lari ke Mega, dan dengan melakukan ‘bargaining’ mendapatkan posisi wapres? Ini masih harus dilihat dari dinamika politik berikutnya, termasuk bagaimana keputusanan yang diambil kalangan elite Partai PKS yang berada di lembaga Majelis Syuro. Karena, Mega juga tetap menginginkan dukungan dari kalangan Islam. Apakah, jika PKS mendapatkan tawaran wapres dari Mega akan diambil? Karena, partai medium, yang suaranya relatif masih tinggi adalah PKS.

Antitesa dari pemerintahan SBY-JK yang akan datang hanya dari kubu Mega. Mega, nampaknya akan menjadi muara para jendral yang oposisi terhadap SBY. Partai PDIP dan Mega, kemungkinan menjadi lokomotif politik untuk menghadapi kekuatan SBY-JK. PDIP dan Mega, mendapatkan dukungan Gerindra yang dipimpin Letjen Prabowo Subianto dan Hanura yang dipimpin Jendral Wiranto. Banyak kalangan purnawirawan yang kurang puas dengan Jendral SBY, yang dianggap telalu ‘lemah’, khususnya menyangkut tentang nasionalisme.

Di dalam gerbong ini, termauk mantan Kepala BIN , Jendral AM.Hendropriyono, dan dari kalangan sipilnya Gus Dur atau Rizal Ramli. Mega, Prabowo, Wiranto, Gus Dur, dan Rizal Ramli, serta Hendro, belakangan mempunyai kesamaan pandangan dalam perspektif pembangunan, dan kebijakan-kebijakan politik serta ekonomi, yang lebih ingin mengedepankan kemandirian ekonomi dan politik, tapi apakah nantinya dapat diwujudkan sebagai sebuah gerakan, ini menuntut komitment yang terlibat dalam kelompok ini.

Tapi, siapa yang akan menjadi wapresnya Mega nanti? Kemungkinan, kalau dilihat dari karakter yang memiliki peluang adalah Prabowo. Prabowo dibanding para jendral lainnya, seperti Wiranto, dialah yang memiliki karakter yang paling kuat untuk menjadi pemimpin. Prabowo oleh tokoh PDIP, yang sudah ‘beralih’ ke Gerindra Permadi, mendapatkan julukan sebagai Soekarno ‘kecil’. Dilihat dari sisi ini, peluang ke depan, Prabowo bisa menjadi ‘putra mahkota’ bagi PDIP, di saat nanti, pasca tahun 2014, ketika Mega sudah lengser, kapal PDIP ini, nakhodanya dapat digantikan oleh Prabowo, kalau dilihatkan dari kelayakan politik, bukan Puan Maharani.

Jadi, sampai tahun 2014 nanti, tak akan ada pergantian kepemimpinan di Indonesia. Pergulatan politik antar jendral ini, yang nampaknya akan dimenangkan kembali oleh Jendral SBY, yang mendapatkan dukungan dari partai-partai yang berbasis Islam, dan nasionalis. Sementara itu, Mega dari perspektif politik, sudah harus menyerahkan ‘estafeta’ kepemimpinannya, karena pilpres Juli nanti, pasti akan menentukan akhir perjalanan politiknya. Ini sangat logis.

Sirkulasi kekuasaan dan transfer powers (pengalihan kekuasaan) atau regenerasi melalui proses yang ada yaitu ‘demokrasi’, baru akan berlangsung sesudah tahun 2014. Proses politik yang baru akan muncul, sesudah SBY, JK, Mega, meninggalkan gelanggang politik. Tapi, siapa yang akan mempunyai peluang sesudah tahun 2014 nanti? Apakah para jendral atau para politisi sipil?

Di mana para politisi Islam? Mereka tak pernah berani tampil, dan mengelola politik dengan kekuatan politik yang mandiri, dan konsisten, serta serius memperjuangkan cita-cita ideologi dan keyakinannya, mereka lebih suka menjadikan para jendral itu sebagai ‘patron’ mereka. Itulahnya kenyataannya. Golongan Islam secara politik akan mengalami 'vacuum' (kekosongan) kepemimpinan politik, yang panjang, jika tidak melakukan langkah-langkah strategis ke masa depan, dan akan kehilangan peluang untuk ikut berpartisipasi melakukan perbaikan terhadap negara.

Di tengah-tengah situasi krisis yang ada sekarang ini, seharusnya PKS, berani mengambil posisi menjadi alternatif, dan memelopori kekuatan baru, dan menggalang kekuatan Islam, secara serius, dan menawarkan solusi bagi masa depan Indonesia yang bersumber dari nilai-nilai prinsip Islam. Tidak hanya bisa berkoalisi dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.Wallahu ‘alam. (msi)

sumber:www.eramuslim.com

Senin, 13 April 2009

HATI SEORANG Abi

> Suatu ketika, ada seorang anak wanita bertanya kepada
> Abinya, tatkala tanpa sengaja dia melihat Abinya sedang
> mengusap wajahnya yang mulai berkerut-merut dengan
> badannya yang terbungkuk-bungkuk, disertai suara
> batuk-batuknya. Anak wanita itu bertanya pada abinya: Abi
> , mengapa wajah Abi kian berkerut-merut dengan badan Abi
> yang kian hari kian terbungkuk?" Demikian
> pertanyaannya, ketika Abinya sedang santai di beranda.
>
> Abinya menjawab : "Sebab aku Laki-laki." Itulah
> jawaban Abinya. Anak wanita itu berguman : " Aku
> tidak mengerti."
>
> Dengan kerut-kening karena jawaban Abinya membuatnya
> tercenung rasa penasaran. Abinya hanya tersenyum, lalu
> dibelainya rambut anak wanita itu, terus menepuk nepuk
> bahunya, kemudian Abinya mengatakan : "Anakku, kamu
> memang belum mengerti tentang Laki-laki." Demikian
> bisik Abinya, membuat anak wanita itu tambah
> kebingungan.
>
> Karena penasaran, kemudian anak wanita itu menghampiri
> Ibunya lalu bertanya :"Ibu mengapa wajah ayah
> menjadi berkerut-merut dan badannya kian hari kian
> terbungkuk? Dan sepertinya Abi menjadi demikian tanpa
> ada keluhan dan rasa sakit?"
>
> Ummiya menjawab: "Anakku, jika seorang Laki-laki
> yang benar-benar bertanggung jawab terhadap keluarga itu
> memang akan demikian."
> Hanya itu jawaban Sang Bunda. Anak wanita itupun kemudian
> tumbuh menjadi dewasa, tetapi dia tetap saja penasaran.
>
> Hingga pada suatu malam, anak wanita itu bermimpi. Di
> dalam mimpi itu seolah-olah dia mendengar suara yang sangat
> lembut, namun jelas sekali. Dan kata-kata yang terdengar
> dengan jelas itu ternyata suatu rangkaian kalimat sebagai
> jawaban rasa penasarannya selama ini.
>
> "Saat Ku-ciptakan Laki-laki, aku membuatnya sebagai
> pemimpin keluarga serta sebagai tiang penyangga dari
> bangunan keluarga, dia senantiasa akan menahan setiap
> ujungnya, agar keluarganya merasa aman teduh dan
> terlindungi. "
>
> "Ku-ciptakan bahunya yang kekar & berotot untuk
> membanting tulang menghidupi seluruh keluarganya &
> kegagahannya harus cukup kuat pula untuk melindungi
> seluruh keluarganya. "
>
> "Ku-berikan kemauan padanya agar selalu berusaha
> mencari sesuap nasi yang berasal dari tetesan keringatnya
> sendiri yang halal dan bersih, agar keluarganya tidak
> terlantar, walaupun seringkali dia mendapatkan cercaan
> dari anak-anaknya. "
>
> "Kuberikan Keperkasaan & mental baja yang akan
> membuat dirinya pantang menyerah, demi keluarganya dia
> merelakan kulitnya tersengat panasnya matahari, demi
> keluarganya dia merelakan badannya basah kuyup kedinginan
> karena tersiram hujan dan hembusan angin, dia relakan tenaga
> perkasanya terkuras demi keluarganya & yang selalu dia
> ingat, adalah disaat semua orang menanti kedatangannya
> dengan mengharapkan hasil dari jerih payahnya."
>
> "Ku berikan kesabaran, ketekunan serta keuletan yang
> akan membuat dirinya selalu berusaha merawat &
> membimbing keluarganya tanpa adanya keluh kesah, walaupun
> disetiap perjalanan hidupnya keletihan dan kesakitan kerap
> kali menyerangnya. "
>
> "Ku berikan perasaan keras dan gigih untuk berusaha
> berjuang demi mencintai & mengasihi keluarganya,
> didalam kondisi & situasi apapun juga, walaupun
> tidaklah jarang anak-anaknya melukai perasaannya melukai
> hatinya. Padahal perasaannya itu pula yang telah
> memberikan perlindungan rasa aman pada saat dimana
> anak-anaknya tertidur lelap. Serta sentuhan perasaannya
> itulah yang memberikan kenyamanan bila saat dia sedang
> menepuk-nepuk bahu anak-anaknya agar selalu saling
> menyayangi & mengasihi sesama saudara."
>
> "Ku-berikan kebijaksanaan & kemampuan padanya
> untuk memberikan pengetahuan padanya untuk memberikan
> pengetahuan & menyadarkan, bahwa Istri yang baik
> adalah Istri yang setia terhadap Suaminya, Istri yang baik
> adalah Istri yang senantiasa menemani & bersama-sama
> menghadapi perjalanan hidup baik suka maupun duka,
> walaupun seringkali kebijaksanaannya itu akan menguji
> setiap kesetiaan yang diberikan kepada Istri, agar tetap
> berdiri, bertahan, sejajar & saling melengkapi serta
> saling menyayangi."
>
> "Ku-berikan kerutan diwajahnya agar menjadi bukti
> bahwa Laki-laki itu senantiasa berusaha sekuat daya
> pikirnya untuk mencari & menemukan cara agar
> keluarganya bisa hidup di dalam keluarga bahagia &
> BADANNYA YANG TERBUNGKUK agar dapat membuktikan, bahwa
> sebagai laki-laki yang bertanggungjawab terhadap seluruh
> keluarganya, senantiasa berusaha mencurahkan sekuat
> tenaga serta segenap perasaannya, kekuatannya,
> keuletannya demi kelangsungan hidup keluarganya. "
>
> "Ku-berikan Kepada Laki-laki tanggung jawab penuh
> sebagai Pemimpin keluarga, sebagai Tiang penyangga, agar
> dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. dan hanya
> inilah kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki, walaupun
> sebenarnya tanggung jawab ini adalah Amanah di Dunia
> & Akhirat."
>
> Terbangun anak wanita itu, dan segera dia berlari,
> berlutut & berdoa hingga menjelang subuh. Setelah itu
> dia hampiri bilik Abinya yang sedang berdoa, ketika
> Abinya berdiri anak wanita itu merengkuh dan mencium
> telapak tangan Ayahnya. "AKU MENDENGAR &
> MERASAKAN BEBANMU, Abi."
>
> Dunia ini memiliki banyak keajaiban, segala ciptaan Allah SWT
> yang begitu agung, tetapi tak satu pun yang dapat
> menandingi keindahan tangan Abi...
> With Love to All Father
>
> "JIKA KAMU MENCINTAI Abi mu / sekarang merasa sebagai
> AYAH KIRIMLAH CERITA INI KEPADA ORANG LAIN, AGAR SELURUH
> ORANG DIDUNIA INI DAPAT MENCINTAI DAN MENYAYANGI AYAHNYA
> & Dan Mencintai Kita Sebagai Seorang Abi
>
> ". Note: Berbahagialah yang masih memiliki Abi. Dan
> lakukanlah yang terbaik untuknya.... ......... .........
> ......... .....
>
> Berbahagialah yang merasa sebagai Abi. Dan lakukanlah
> yang terbaik buat keluarga kita........ .........

Selasa, 07 April 2009

Dinar Untuk Solusi Komersial, Siapa Takut…?

Written by Muhaimin Iqbal
Friday, 19 December 2008 10:55

Pekan ini GeraiDinar.Com akan genap satu tahun dalam penayangan, lebih dari 240 artikel telah saya tulis mulai dari tampilan awal di geraidinar.blogspot.com; geraidinar.com/old.php (versi blog) dan pada penampilan terakhir di geraidinar.com.

Selama ini artikel-artikel yang saya tulis baru sebatas teori dasar tentang Dinar, lingkungan finansial dimana kita berada dan sedikit aplikasinya pada kebutuhan individu.

Menginjak usianya yang kedua, insyaallah saya akan mulai merespon tantangan dunia komersial dan industri untuk memberi jawaban atas problem-problem finansial yang mereka hadapi.

Untuk yang pertama ini, solusi Dinar saya tawarkan untuk dunia perbankan (khususnya bank syariah) dan real estate.


Case study-nya adalah sebagai berikut :


Selama ini salah satu problem terbesar kaum pekerja adalah perumahan. Mereka kesulitan membeli rumah secara tunai, sementara menabung (dalam Rupiah) bukan solusi yang cerdas untuk dapat membeli rumah karena bagi hasil tabungan rata-rata kurang lebih hanya separuh dari tingkat inflasi harga rumah.

Solusi yang agak membantu adalah melalui program cicilan, yang dalam perbankan syariah umumnya menggunakan skema Murabahah atau jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank dan nasabahnya.

Masalahnya adalah kalau asumsinya Anda ingin mencicil rumah seharga Rp 200 juta selama 10 tahun misalnya, berapa margin keuntungan yang akan Anda sepakati dengan bank Anda ?.

Kemungkinan yang terjadi bank akan menghitung margin keuntungannya ‘setara bunga efektif ’ perbankan konvensional pada pasaran yang berlaku. Kalau di pasaran konvensional bunga bank 18% per tahun; maka margin keuntungan bank syariah tidak jauh-jauh dari 18% per tahun ini.

Dengan tingkat margin keuntungan ‘setara bunga efektif’ 18%/tahun , maka untuk pembelian rumah Rp 200 juta per tahun Anda akan mencicil sebesar Rp 3,600,000/bulan. Total yang akan Anda bayar dalam 10 tahun adalah Rp 432 juta.

Jadi margin keuntungan bank syariah secara total dalam sepuluh tahun adalah Rp 432 juta – Rp 200 juta = Rp 232 juta atau 116%. !!!.

Untung besarkah perbankan yang 'menjual' rumah ke Anda dengan margin keuntungan 116% dalam 10 tahun tersebut ?. Tidak juga, sebenarnya mereka malah merugi, meskipun dalam timbangan Rupiah seolah mereka untung – tetapi dalam daya beli riil mereka merugi.

Inilah dampak penggunaan uang atau ‘timbangan’ yang tidak adil itu, Anda sudah merasa di cekik dengan margin bank yang tinggi – tetapi yang mencekik Anda juga rugi.

Coba perhatikan grafik diatas apabila kasus tersebut disandingkan dengan timbangan yang adil sepanjang masa yaitu Dinar. Untuk ini simulasi dari akumulasi pembayaran Anda ke bank saya sandingkan dengan data harga Dinar riil 10 tahun terakhir sejak tahun 1999.

Asumsinya Anda 'membeli' rumah dari bank Rp 200 juta pada tahun 1999; maka dengan kurs Dinar saat itu Rp 305,000/Dinar 'pembelian' Anda tersebut setara dengan 655 Dinar.

Setelah Anda selesai mencicilnya genap 10 tahun sampai tahun ini, maka total pembayaran Anda Rp 432 juta. Karena tahun ini nilai tukar Dinar telah menjadi Rp 1,288,000/Dinar ; maka akumulasi pembayaran Anda sebesar Rp 432 juta tersebut hanyalah setara dengan 335 Dinar saja. Sejatinya bank bukannya untung malah merugi 320 Dinar atau Rugi 49% untuk Rumah Anda !.

Itulah antara lain sebabnya dari waktu-kewaktu perbankan global mengalami kesulitan, karena operasi mereka dengan ‘timbangan’ uang kertas yang tidak menguntungkan siapapun apabila digunakan untuk muamalah jangka panjang.

Nah bagaimana kalau seandainya transaksi jual-beli Murabahah dibuat dalam Dinar dan dibayar dalam Dinar ? Perhatikan grafik disamping.

'Pembelian' Anda tahun 1999 yang Rp 200 juta adalah setara 655 Dinar. Anda bisa sepakati dengan margin keuntungan yang tidak berlebihan bagi bank, misalnya 19% dalam 10 tahun ! ( iya betul 10 tahun !) – maka Anda akan membayar ke bank Anda secara total menjadi 780 Dinar dalam 10 tahun atau 6.5 Dinar per bulan.

Lihat bedanya antara grafik 1 dan ke 2. Pada grafik pertama Anda ‘merasa’ dicekik tetapi bank masih rugi; di grafik kedua Anda merasa ringan membayarnya dan bank benar-benar mendapatkan keuntungan riilnya.

Bagaimana Anda merasa ringan membayar dalam Dinar ?. Karena pada awal –awal tahun cicilan 6.5 Dinar tersebut hanya setara Rp 1,985,000 / bulan. Sedangkan apabila 'pembelian' dalam Rupiah cicilan Anda tahun pertama tersebut Rp 3,600,000,-/bulan.

Pada akhir-akhir tahun pinjaman cicilan Anda dalam Dinar akan lebih besar dibandingkan dalam Rupiah, untuk tahun ini misalnya 6.5 Dinar Anda setara dengan Rp 8,372,000,- sedangkan cicilan Anda dalam Rupiah tetap Rp 3,600,000,-/bulan.

Beratkah ini ? kemungkinan besar tidak !.

Untuk bisa mencicil Rp 3,600,000/ bulan tahun 1999 Anda perlu memiliki penghasilan minimal Rp 10,800,000,-. Dalam 10 tahun kemudian kemungkinan besar penghasilan Anda sudah diatas Rp 25 juta, jadi kemungkinan yang terjadi naiknya cicilan (karena kurs Dinar yang naik) sejalan dengan kenaikan pendapatan Anda sehingga Anda tidak merasa berat.

Nilai jual lain dari solusi Dinar ini adalah akan semakin banyak orang lebih cepat mendapatkan rumahnya !, kok bisa ?.

Lihat perbandingan cicilan diatas. Dalam Dinar, cicilan lebih murah di awal tahun pembayaran. 6.5 Dinar hanya setara Rp 1,985,000. Artinya orang dengan penghasilan sekitar Rp 6 juta/bulan saat itu sudah dapat 'membeli' rumah Rp 200 juta. Padahal dengan transaksi dalam Rupiah dibutuhkan penghasilan Rp 10,800,000/bulan minimal.

Jadi ‘timbangan’ yang adil baik untuk siapa saja; maka sudah seharusnyalah kita berlomba mengambil solusi berbasis Dinar yang nyata-nyata lebih adil ini.

Rekan-rekan developer dan perbankan syariah; think about it seriously…karena bisa jadi ini kesempatan terbaik bagi Anda untuk mendapatkan solusi unggul di tengah krisis. Kalau tidak Anda manfaatkan solusi unggul ini bisa jadi pula pesaing Anda yang memanfaatkan lebih dahulu. Wallahu A'lam.

sumber:www.geraidinar.com